Budaya jajanan kaki lima sudah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kota. Kehadirannya membawa warna, kelezatan, dan kemudahan bagi masyarakat urban yang sibuk. Dari gorengan hangat hingga minuman segar, semua bisa dinikmati dengan cepat dan harga terjangkau.


Namun, di balik semaraknya aroma dan keramaian tersebut, ada masalah yang mulai muncul dan mengganggu kenyamanan masyarakat, khususnya terkait kelancaran lalu lintas dan keselamatan pejalan kaki.


Popularitas gerobak makanan semakin meningkat karena sifatnya yang fleksibel, biaya operasional yang rendah, dan daya tarik bagi berbagai kalangan. Para pedagang dapat dengan mudah memilih lokasi strategis seperti dekat stasiun, sekolah, perkantoran, atau pusat keramaian lainnya. Sayangnya, kemudahan ini kadang menimbulkan dampak negatif. Banyak gerobak yang memadati trotoar, bahkan sebagian mengambil sebagian badan jalan. Hal ini membuat arus lalu lintas terganggu dan mengancam keselamatan pengguna jalan.


Kepadatan ini membuat kendaraan harus bergerak lebih lambat, jalan menjadi sempit, dan potensi kemacetan meningkat. Bagi pengendara sepeda, kondisi ini menimbulkan risiko tersendiri karena harus berbagi ruang dengan kendaraan bermotor dan pejalan kaki. Lebih parah lagi, kendaraan darurat seperti ambulans atau pemadam kebakaran bisa terhambat karena akses jalan yang menyempit. Ini tentu dapat berakibat fatal ketika waktu sangat krusial.


Bagi pejalan kaki, kondisi trotoar yang dipenuhi pedagang membuat mereka terpaksa berjalan di bahu jalan. Risiko tertabrak kendaraan pun meningkat. Ibu-ibu yang mendorong kereta bayi, lansia, dan penyandang disabilitas menjadi kelompok paling rentan. Situasi ini jelas bertentangan dengan konsep kota yang ramah bagi semua kalangan.


Tidak hanya soal keselamatan, kenyamanan warga sekitar juga ikut terganggu. Suara bising dari aktivitas berdagang, antrean pembeli, dan lalu-lalang orang bisa memicu stres, terutama bagi penghuni kawasan yang padat pedagang. Belum lagi bau dari proses memasak yang tak selalu sedap bagi semua orang. Kendala lainnya adalah sulitnya warga mengakses rumah atau lahan parkir karena terhalang kerumunan atau gerobak yang parkir sembarangan.


Masalah kebersihan juga menjadi perhatian serius. Tanpa pengelolaan sampah yang memadai, sisa makanan dan kemasan dapat menumpuk dan mengundang hama. Hal ini tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga mengganggu kualitas hidup masyarakat sekitar.


Lalu, apakah solusi yang bisa diambil tanpa mematikan mata pencaharian para pedagang?


Beberapa solusi yang bisa diterapkan antara lain:


1. Zona Khusus Pedagang Kaki Lima:


Pemerintah kota dapat menyediakan area khusus yang aman dan strategis untuk para pedagang, jauh dari jalan utama dan pemukiman warga. Hal ini bisa menciptakan pusat kuliner yang tertata dan tetap menarik.


2. Sistem Perizinan Teratur:


Penerapan sistem izin yang jelas dapat membatasi jumlah pedagang serta memastikan mereka memenuhi standar keamanan dan kebersihan. Ini juga membuka peluang pelatihan bagi pedagang agar usahanya lebih profesional.


3. Pengawasan Rutin dari Pemerintah:


Pemerintah daerah perlu melakukan patroli dan pengawasan rutin di area yang rawan kepadatan. Penertiban harus dilakukan secara persuasif, bukan represif, agar pedagang tetap bisa mencari nafkah tanpa mengganggu kepentingan umum.


4. Keterlibatan Masyarakat Sekitar:


Kolaborasi antara warga dan pedagang sangat penting. Melalui dialog atau forum warga, kedua pihak dapat berdiskusi dan mencari solusi bersama demi menciptakan lingkungan yang nyaman bagi semua.


Snack cart dan gerobak kaki lima memang memberikan keunikan tersendiri dalam dinamika kota. Namun jika tidak dikelola dengan bijak, keberadaannya bisa membawa dampak negatif yang besar. Keseimbangan antara ekonomi informal dan keteraturan kota adalah kunci. Dengan perencanaan yang matang dan kerjasama semua pihak, kelezatan kaki lima tetap bisa dinikmati tanpa mengorbankan keselamatan dan kenyamanan publik.